Profesi-Profesi Termahal Masa Depan: Makin Mahal dengan Sertifikasi Standar Global

By on April 5, 2015

Kebutuhan dan apresiasi terhadap pelaku profesi bersertifikasi standar global, seperti CFA, ChFC, FRM, CPIM, CPM, CISA, dan sebagainya, makin tinggi. Sertifikasi profesi terbukti menunjang karier dan peningkatan penghasilan para penyandangnya.

Tri Djoko Santoso kini menyimpan dua kartu nama dalam sakunya. Kartu  nama pertama menunjukkan identitas dirinya  sebagai  wakil presdir PT Panin Life Tbk., tanpa ada tambahan embel-embel  lagi. Adapun kartu kedua mencantumkan gelar (professional  designation) Chartered  Financial Consultant (ChFC) di belakang namanya.  “Itu saya  perlukan  kalau sedang dinas ke luar  negeri  atau  bertemu dengan  kolega  saya yang kebetulan orang  asing  di  Indonesia,” ujarnya.

Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra  asingnya  bahwa dia dengan orang yang kompeten  di  bidang asuransi  dan layak dihargai karena menyandang gelar  sertifikasi berstandar  global, yaitu ChFC. “Kadang kartu nama itu juga  saya tunjukkan ke klien atau nasabah,” ungkap Tri. Meski tanpa  sertifikasi ChFC, perkembangan karier dan gaji Tri cukup baik,  karena zaman makin terbuka, pengakuan yang bersifat internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya.

Sertifikasi  ChFC  milik Tri diperolehnya  dari  The  American College.  Selain  pengakuan internasional, apa  lagi  manfaatnya? “Banyak sekali,” paparnya. Oleh karena program sertifikasi  lebih bersifat  aplikatif, banyak sekali pengetahuan baru yang  tak  ia peroleh  di  bangku kuliah. Selain itu, apresiasi  industri  jasa keuangan  terhadap mereka yang bersertifikasi global  juga  makin tinggi.  “Mereka  makin dihargai  karena  keahliannya  berkaliber internasional dan ini akan terus bergulir,” tandasnya.

Sertifikasi Profesi Jadi Tuntutan
Menurut  Hari Sudarmadji, managing partner Optima  Consulting, perusahaan konsultan SDM, kini sertifikasi profesi memang menjadi tuntutan  untuk  melakukan pekerjaan di  berbagai  bidang  usaha, seperti menjadi manajer investasi atau wakil perantara  perdagangan efek. “Saya sangat setuju dengan adanya sertifikasi  profesi, sebab ini penting untuk kejelasan,” ujarnya.

Hari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh  banyak  orang dan membutuhkan upaya  sertifikasi,  baik yang  bersifat  global  maupun  nasional.  Misalnya,  sertifikasi profesi di bidang manajemen risiko, corporate secretary,  konsultasi manajemen, komite audit perusahaan publik, audit ISO,  audit TI,  dan audit lingkungan. “Mereka yang benar-benar  kompeten  di bidang  itu  sekarang banyak dicari,” paparnya. Di  bidang  hukum juga  berkembang  sertifikasi profesi mediator  profesional  yang memberikan jasa mediasi untuk penyelesaian sengketa komersial  di luar pengadilan.

Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya berprofesi  di  bidang  itu  karena  tuntutan  pertanggungjawaban profesi  cenderung makin tinggi, seperti halnya profesi  akuntan, advokat,  notaris, dokter, dan apoteker, yang  sampai  dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, seharusnya  ada opini  dari  auditor  lingkungan  independen  dan  bersertifikasi standar  global yang layak disajikan dan  memiliki  akuntabilitas publik. “Ini belum ada. Namun, lima tahun mendatang pasti profesi ini banyak dicari, sehingga prospeknya bagus,” kata Hari.

Di  bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden  ISACA (Information  Systems  Audit and Control  Association)  Indonesia Chapter,  membenarkan bahwa auditor TI yang memiliki  gelar  CISA (Certified  Information Systems Auditor) yang dikeluarkan  ISACA, AS,  makin dibutuhkan. “Padahal di sini pemilik gelar  CISA  baru 30-50 orang,” paparnya. Ia menambahkan, sertifikasi CISM  (Certified Information Security Manager) yang dikeluarkan ISACA   untuk para  manajer TI, juga sedang berkembang di Indonesia.  Saat  ini belum  ada 10 orang Indonesia yang menyandang gelar CISM.  “Sebab baru  berjalan  ujiannya Juli 2004,”  ungkap Surdiyanto.

Menurut Surdiyanto yang juga dirut PT Kliring Berjangka  Indonesia  itu,  audit TI yang dilakukan pemilik  gelar  CISA   jelas dapat  dipertanggungjawabkan karena ia memang  dibekali  pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang berstandar internasional. Tak  semua orang kompeten, berwenang, dan berhak melakukan  audit TI  untuk  meneliti adanya kontrol  dan  efektivitas  berjalannya sebuah  sistem  informasi. “Kalau auditor CISA  mengatakan  hasil auditnya bagus, pasti memang bagus, sebab dia independen dan  tak ada conflict of interest,” tandasnya.

Lebih  lanjut  Surdiyanto memaparkan,  sarjana  akuntansi  dan manajemen  bisa  saja menjadi auditor  keuangan,  manajemen,  dan operasional, tetapi tidak semua bisa mengaudit sistem  informasi, perangkat  lunak, dan sistem aplikasi. Padahal,  ujarnya,  banyak perusahaan besar makin bergantung pada TI. “BCA saja sudah mengarahkan transaksi senilai Rp25 juta ke ATM. Dan ATM-nya sudah bisa untuk membayar banyak hal tanpa harus antre lama. Ini berarti  TI sudah menjadi jantung layanan bisnis BCA.”

Di  sektor  industri manufaktur, tenaga  profesional  bergelar CPIM (Certified in Production and Inventory Management) dan  CIRM (Certified  in Integrated Resource Management)  yang  dikeluarkan oleh APICS (American Production and Inventory Control Society) di AS juga makin dibutuhkan banyak perusahaan.

Gelar CPIM menandakan penyandangnya  memiliki  kompetensi berstandar  internasional  di bidang  perencanaan  pengadaan, bahan baku,  kapasitas  produksi, pengukuran performa, hubungan dengan pemasok, perencanaan penjualan  dan operasional, kontrol kualitas, dan kesinambungan  operasional pabrik. Sementara itu, gelar CIRM menandakan penyandangnya juga menguasai cara mengelola interaksi antarbagian fungsional di sebuah  perusahaan  yang begitu kompleks, sehingga  bisa  bekerja lebih efektif dan produktivitas meningkat.

Sertifikasi  CPIM  dan  CIRM, menurut  Ahmad  Syamil,  sangat penting bagi kalangan profesional yang banyak bergelut di  bidang manajemen operasional perusahaan atau pabrik. Ahmad adalah  salah satu  penyandang  gelar  CPIM dan CIRM. Gelar  ini,  lanjut  staf pengajar  di  Arkansas State University, AS, itu, “Juga  membantu peluang kerja di berbagai negara.”

Di  bidang  pemasaran, sertifikasi profesi  seperti  Chartered Marketer  (CM) yang dikeluarkan oleh The Chartered  Institute  of Marketing (CIM) juga sedang berkembang. Ario S. Setiadi,  marketing  & business development vice-president Medika Plaza  International  Clinic,  mengaku sedang belajar program CM.  “Cuma  pakar marketing  Hermawan  Kartajaya yang sejauh  ini  bisa  memperoleh gelar  Fellow  dari CIM,” ujarnya. Padahal  Ario  sudah  memiliki gelar  CPM  (Certified Professional Marketer) Asia  Pacific  yang dirilis APMF (Asia Pacific Marketing Federation), yang di Indonesia baru ada 12 orang  yang memilikinya, termasuk Ario.

Sementara  itu, di bidang keuangan, Ferry Wong, manajer  riset BNP  Paribas,  mengamati minat orang untuk memperoleh  gelar  FRM (Financial  Risk Manager) sekarang makin tinggi, terutama  mereka yang  bekerja  di sektor perbankan.  “Sebab,  regulasi  perbankan mengharuskan  semua  bank mengikuti Basel Rule II  Accord,”  ujar Ferry, yang memperoleh gelar FRM dari Global Association for Risk Management Professional pada tahun 2002.

Basel Rule II Accord menjadi standar global yang harus diikuti semua  bank  dalam hal manajemen risiko dan  bakal  berlaku  pada 2006. Oleh karena itu, banyak kalangan bankir tertarik  mendapatkan sertifikasi FRM. Apalagi Bank Indonesia juga mengharuskan key person di bank memperoleh pelatihan manajemen risiko untuk memahami implementasi standar baru itu.

Menurut  Ferry,  pemilik gelar FRM di Indonesia  baru  delapan orang.  “Sebagian  besar  juga penyandang  gelar  CFA  (Chartered Financial Analyst),” tutur Ferry, yang juga bergelar CFA.  Sertifikasi  CFA,  walau sudah ada di Indonesia sejak 15  tahun  lalu, baru 70-80 orang yang memilikinya. “Meski yang ikut ujian CFA per  tahun 700-800 orang, yang lulus sangat sedikit,” ungkap Ferry.

Th. Wiryawan, marketing communications & business  development director  Citibank Indonesia, menilai bahwa  masalah  sertifikasi profesi  memang  isu besar di industri jasa  keuangan  saat  ini. “Seperti  untuk  menjadi private banker,  sebenarnya  juga  tidak mudah,”  ujarnya. Di Citibank, mereka yang bisa  bekerja  sebagai private  banker harus berada pada level senior manager dan  lulus ujian  selama tiga bulan. Standar kualitas profesional  bankirnya juga minimal harus regional. “Jadi, masalah marked to market yang sempat menghebohkan itu sedikit banyak juga terkait dengan  standar  profesional global, yang umumnya menganut pendekatan  marked to market,” jelasnya.

Menunjang Karier dan Penghasilan
Hari melihat kebutuhan paling besar profesional yang bersertifikasi  profesi  adalah  di industri  keuangan,  asuransi,  pasar modal,  dan  properti. “Ini lagi tren dan  membuat  tenaga-tenaga yang  memiliki  sertifikasi harganya naik,” tegas  Hari.  Apalagi tenaga-tenaga  bersertifikasi juga tak mudah dicari  karena  yang bersangkutan  sudah  mendapatkan posisi dan  income  yang  bagus. Jadi, kalaupun ada, umumnya berharga mahal.

Berapa?  Ungkap Hari, “Per bulan bisa Rp85 juta.” Oleh  karena mereka  memiliki  kemampuan khusus, perusahaan  pun  diuntungkan. Nilai  perusahaan  (corporate value)  otomatis  meningkat  karena mampu  mempekerjakan tenaga-tenaga bersertifikasi  global  dengan gaji  yang  tinggi. Hari menyarankan, tak ada  ruginya  eksekutif yang masih berusia 27-35 tahun untuk mengejar sertifikasi.  “Tren dunia  keprofesian  akan makin spesifik dan  ilmu  yang  dimiliki sangat spesial, bukan umum atau generik,” jelas Hari.

Menurut  pemantauan Surdiyanto, umumnya auditor bergelar  CISA memang  memiliki penghasilan yang bagus dan posisi  strategis  di perusahaan.  “Ia betul-betul dipakai untuk memberikan  pendapatan besar  bagi perusahaannya,” tambahnya. Apabila ada  proyek  audit perusahaan, ia pasti akan dilibatkan sehingga penghasilannya juga besar. Posisinya di perusahaan pun lebih bagus dibanding  auditor yang tak bergelar CISA. Makin banyak perusahaan besar  menerapkan TI, harga jasa tenaga auditor TI yang terhitung masih sedikit pun makin meningkat pula.

Namun,  menurut Tri Djoko Santoso, belum tentu seseorang  yang bersertifikasi  standar global akan berhasil di karier dan  gaji. Hanya,  memang,  dengan memiliki sertifikasi,  daya  tahan  untuk tetap  memiliki  posisi dan penghasilan  tinggi  cenderung  lebih kuat.  “Jika  tak punya sertifikasi, bisa saja  ia  diganti  oleh orang yang bersertifikasi,” tuturnya. Apalagi, ke depan, persaingan bisnis makin terbuka, termasuk dengan orang asing. Jadi, jika  tak  memiliki kredibilitas, lewat sertifikasi, pasti  akan  kalah bersaing.  “Bank-bank  besar,  asuransi, dan  pasar  modal  makin melihat pentingnya sertifikasi ini,” tandasnya.

Ferry  Wong berpendapat, sertifikasi memang  menunjang  karier dan gaji, tetapi tidak menjamin juga kalau pemilik gelar CFA  dan FRM pasti akan menjadi analis yang hebat. “Gelar hanya memberikan dasar  atau  tools  untuk menjadi analis  yang  baik,”  paparnya. Selebihnya  tergantung kemauan, usaha, dan keberuntungan.  Namun, Ferry mengakui, rekan-rekannya yang menyandang gelar CFA dan  FRM memang  memiliki posisi tinggi. “Oleh karena  jumlahnya  sedikit, apresiasi pasar pun makin tinggi,” jelasnya.

Hal  senada juga diungkapkan Ario. Katanya,  penyandang  gelar CPM Asia Pacific di Indonesia umumnya berpenghasilan baik. Apalagi  gelar  ini dihargai di negara-negara Asia  Pasifik,  sehingga penyandangnya, apabila bekerja di luar negeri, mendapat pengakuan bahwa  standar  profesionalnya setara.  “Sementara  di  Indonesia masih banyak perusahaan tak mengerti makna titel CPM,”  paparnya. Ario  mensinyalir,  orang  masih rancu antara  gelar  formal  dan informal,  serta adanya stigma bahwa apabila gelar  informal  tak disahkan Departemen Pendidikan Nasional, ia dianggap tidak legal. “Padahal  di sini bukan soal legal atau tidak, tapi soal  profesi yang  kalau diterima pasar ya bisa berjalan,” jelas  Ario.  Namun Ario  yakin, pemilik sertifikat CPM atau CM bakal  lebih  berdaya saing dibanding yang tidak memilikinya.

Di bisnis properti, Thomas Sugiarto, executive service  director  Century 21 Thomas Mitra, menjelaskan bahwa  sebagian  broker properti  memang belum memiliki sertifikasi broker   atau  analis properti.  Namun ia mengamati, mereka yang memilikinya  cenderung makin  baik  karier dan penghasilannya. Thomas,  yang  memperoleh gelar CPA (Certified Property Analyst) dari Pusat Studi  Properti Indonesia,  merasakan manfaat pendidikan yang  ditempuhnya  dalam menjalankan profesi sebagai broker properti.

Ke  depan, Thomas melihat sertifikasi profesi broker  properti makin  dibutuhkan  karena persaingan makin  sengit  dan  tuntutan konsumen  makin tinggi. “Itu baru bisa kami layani kalau  kaminya sendiri  makin berkualitas,” ujarnya. Thomas menambahkan,  karier sulit berkembang kalau mau mengejar uang tanpa terus belajar.

Sulit Diperoleh
Namun  umumnya  sertifikasi  profesi  berstandar  global,  dan bahkan yang nasional sekalipun, tak mudah didapat. Bahkan,  papar Hari, dalam ujian profesi, lebih banyak yang gagal daripada  yang berhasil. Sinyalemen Hari dibenarkan oleh Ario. Misalnya, persyaratan  untuk ikut ujian CPM, seseorang minimal  sudah bekerja  di bidang  pemasaran  selama lima tahun, dan  biasanya  jarang  yang sekali  ujian  bisa langsung lulus. Umumnya dua kali  ujian  baru lulus.  “Saya  sendiri  waktu itu ada yang  satu  modulnya  tidak lulus,”  ungkap  Ario. Kesulitan makin tinggi  kalau  mereka  tak punya pengalaman dalam bidang pemasaran. Pasalnya, ujiannya hanya 20%-30%  yang bersifat teori, selebihnya bersifat praktis.  Jadi, bagi yang belum berpengalaman, pasti akan kesulitan.

Seorang  penyandang gelar sertifikasi berstandar global  tidak boleh hanya piawai teori, tetapi juga harus mampu mengaplikasikan ilmunya.  Misalnya di bidang hukum, ia harus terampil  berperkara di  pengadilan.  Kalau ia manajer investasi,  ia  harus  terampil mengelola  dana  triliunan rupiah. “Kepandaian  mengelola  risiko seperti itu tidak gampang,” papar Hari.

Walau kesejahteraan penyandang sertifikasi profesi  berstandar global  meningkat,  gelar itu juga menuntut tanggung  jawab  yang juga  besar.  Menurut Hari, mereka tak bisa berlindung  di  bawah perusahaan  atau  organisasi profesi.  “Sebab,  pekerjaan  mereka kerap kali menyangkut nilai yang besar,” tuturnya. Mereka, lanjut Hari, secara pribadi harus bisa bertanggung jawab di depan  hukum supaya  tidak  ada malapraktek. “Profesi  yang  sudah  dilindungi hukum saja bisa malapraktek,” cetus Hari.

Oleh  karena itu, lanjut Hari, sertifikasi  berstandar  global bukanlah  lisensi seumur hidup, tetapi terus mendapat  pengawasan ketat  dari  institusi pemberi sertifikasi.  Penyandang  gelarnya wajib mengikuti pendidikan dan ujian berkesinambungan  (continual education) untuk terus meningkatkan kualitas  profesionalitasnya. “Bisa saja orangnya malas mengikuti perkembangan terbaru, sehingga  kualitas kerjanya turun dan opininya tidak layak lagi,”  urai Hari.  Mereka  juga  diwajibkan mematuhi  kode  etik  sertifikasi profesi. Kalau tidak, gelarnya bisa dicabut sewaktu-waktu.

Surdiyanto  membenarkan hal itu. Ia memaparkan, apabila  pemegang gelar CISA dalam setahun tak melakukan praktek apa pun  yang terkait  dengan gelarnya,  ia tidak akan mendapatkan poin  kredit sehingga  gelarnya bisa dicabut. Gelarnya baru bisa  diperpanjang kalau tiap tahun ia memberikan laporan yang diakui. Ia juga harus mematuhi  kode  etik yang ada. “Setiap akhir  tahun,  gelar  CISA harus  diperpanjang dan di-review, tidak bisa seumur hidup  memegang gelar CISA,” paparnya.

Ferry Wong juga mengungkapkan bahwa gelar sertifikasi  profesi seperti CFA memang bisa dicabut kalau melanggar kode etik. “Jadi,  seperti  surat izin mengemudi,” tandasnya. Oleh karena itu,  tambahnya,  penyandang  gelar  CFA cenderung  tak  berani  mengambil risiko melakukan penyimpangan atau penipuan. “Risiko dan tanggung jawabnya besar.”

Biaya  pendidikan  dan ujian sertifikasi standar  global  juga terhitung mahal. “Ini wajar karena kalau murah, isinya tentu  tak bisa  dipertanggungjawabkan,”  papar Hari. Sampai di  sini,  Hari  cemas dengan makin menjamurnya institusi-institusi yang  menawarkan  fasilitas pendidikan dan ujian keprofesian, baik  berstandar global  maupun lokal, seiring tumbuhnya permintaan. Hari  mencermati, ada gejala banyak orang memburu sertifikasi sampai ke  luar negeri  sehingga kalau tidak diantisipasi,  disediakan  forumnya, Indonesia akan kebanjiran orang yang bersertifikasi profesi  dari luar  negeri yang tak diketahui seperti apa  kualitasnya.  “Tidak bisa  sekadar menerima selembar ijazah tanpa jelas maksud  kriterianya,” tegasnya.

Untuk  itu Hari menilai pentingnya peran  berbagai  organisasi profesi dan organisasi sertifikasi profesi, bersama dengan  semua pihak yang terkait, seperti pemerintah dan badan-badan independen lainnya, memberikan arah terhadap perkembangan dunia keprofesian. Bentuknya bisa regulasi dan praktek di lapangan. “Kalau  pengaturan sertifikasi standar internasional sudah ada di induknya, tapi kalau sertifikasinya berasal dari dalam negeri, saya pikir memang perlu diatur,” tukas Tri Djoko Santoso.

Ferry  Wong  juga khawatir jika sertifikasi  profesi  kemudian dianggap seperti mainan, mudah didapat dan kualitasnya tak  dapat dipertanggungjawabkan.  Ia  melihat ada  kecenderungan  tumbuhnya institusi pendidikan yang sekadar mencari uang dengan  memanfaatkan  momentum  dan bahkan membuat sertifikasi  profesi  yang  tak jelas  standarnya. Akan tetapi ia yakin, orang akan  tahu  dengan sendirinya, sertifikasi mana yang bagus dan layak dihargai.

Ferry mengemukakan, sertifikasi profesi yang bagus adalah yang standarnya terus dipertahankan dan cenderung makin sulit didapat. Misalnya,  gelar  CFA,  yang tahun ini  tingkat  kelulusannya  di seluruh dunia hanya 32% dari total peserta, dan bahkan di Indonesia hanya 10%-15%. “Pokoknya kalau mau mencari sertifikasi,  cari yang  susah karena itu yang akan dihargai.  Kalau  sertifikasinya mudah didapat, lebih baik tidak usah,” tandasnya.

Beberapa Sertifikasi Profesi Standar Global:
1. Chartered Financial Analyst (CFA)
2. Certified Financial Planner (CFP)
3. Financial Risk Manager (FRM)
4. Chartered Financial Consultant (ChFC)
5. Project Management Professional (PMP)
6. Certified Information Systems Auditor (CISA)
7. Certified in Production and Inventory Management (CPIM)
8. Certified in Integrated Resource Management (CIRM)
9. Certified Professional Marketing (CPM)
10. Senior Certified Valuers (SCV)
11. Certified Public Accountant (CPA)
12. Certified Internal Auditor (CIA)
13. Certified Information Systems Security Professional (CISSP)
14. Certified Professional Environmental Auditor (CPEA)

Profesi Termahal Masa Depan Tanpa Sertifikasi
Meski sertifikasi profesi menjadi syarat utama agar  pelakunya berharga mahal, tetapi itu bukan harga mati. Di luar profesi yang makin membutuhkan sertifikasi profesi yang ketat, muncul beberapa profesi  yang  sebenarnya  tak  membutuhkan  sertifikasi  khusus, tetapi juga langka sehingga harganya pun tergolong mahal.  Penyebabnya  mungkin  karena profesi-profesi  itu  lebih  mengandalkan bakat alam atau keahlian yang sulit didapat dari jalur pendidikan formal, sehingga tak semua orang bisa melakukannya.

Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya memeriksa  tingkat  kesegaran  ikan hasil  tangkapan  agar  layak ekspor.  “Dia  tugasnya  hanya memegang dan  membaui  ikan  tuna, seperti  layaknya  menguji biji kopi atau daun teh,”  ujar  Irham Dilmy,  managing partner perusahaan executive search Amrop  Hever Indonesia.

Menurut  Irham, pemeriksa ikan tuna yang  notabene  ekspatriat itu  per bulan bisa mendapatkan gaji US$20.000. Dia layak  digaji tinggi  karena pabrik pengalengan ikan tak mau  mengambil  risiko produknya  ditolak di negara tujuan ekspor lantaran tak  memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ini bisa mencoreng reputasi, dan merugikan perusahaan. Sebab, per hari perusahaan itu mengekspor 100 ton lebih ikan tuna.

Ekspor ikan tuna membutuhkan perlakuan khusus karena tak boleh dibekukan  dan tidak boleh ditangkap dengan jaring agar  pembuluh darahnya  tidak  pecah. Orang Jepang tak suka  mengkonsumsi  ikan tuna  yang pembuluh darahnya sudah pecah karena  rasanya  menjadi tidak enak.

“Jumlah pemeriksa ikan tuna ini cuma segelintir, mungkin tidak sampai 10 orang,” papar Irham. Yang menarik, lanjut Irham, mereka itu tak perlu sekolah tinggi-tinggi agar harganya mahal. “Derajat kesulitan pekerjaan mereka sebenarnya relatif sama dengan  pembau tembakau, tapi bayarannya jauh lebih mahal,” ungkap Irham.

Sertifikasi Profesi dan Profesi Termahal Masa Depan
Kini  kian banyak profesi baru bermunculan. Misalnya,  profesi di bidang perencanaan keuangan, audit penerapan TI, audit manajemen  mutu,  manajemen  lingkungan,  manajemen  risiko,  manajemen proyek,  pemasaran,  manajemen pabrik,  dan  lain-lain.  Profesi-profesi itu relatif belum banyak disentuh orang, dan makin membutuhkan sertifikasi karena profesi-profesi baru itu umumnya spesifik  dan  membutuhkan  keahlian khusus.  Di  sinilah  sertifikasi profesi, terutama yang berstandar global, berhubungan erat dengan prediksi profesi-profesi termahal di masa depan.

Sertifikasi  profesi berstandar global makin diperlukan  untuk menegaskan  bahwa pelakunya layak diakui,  memiliki  pengetahuan, keterampilan,  dan  pengalaman  dengan  kualitas   internasional. Misalnya,  bidang audit penerapan TI dibutuhkan pelaku yang  bersertifikasi  CISA. Mereka ini diprediksi bakal mahal harganya  di masa depan.

Pelaku   profesi  bersertifikasi  standar  global   diprediksi “mahal”  karena beberapa sebab. Pertama, belum banyak orang  yang menekuninya.  Kedua, tak semua orang bisa menjadi pelaku  profesi ini bisa memiliki sertifikasi berstandar global. Ketiga,  permintaannya yang kian tinggi belum diimbangi dengan banyaknya pelakunya. Ini otomatis membuat “harga” mereka naik.

Keempat,  mereka  mahal karena  sertifikasinya  diakui  secara  global.  Artinya, di mana pun ia bekerja, standar  keahlian  atau kompetensinya  diakui, sehingga bisa bekerja di negara mana  pun.  Sertifikasi standar global menegaskan bahwa penyandangnya  memang memiliki keahlian khusus, sehingga pantas mendapat bayaran  tinggi.

Kelima, keberadaan mereka juga ikut menaikkan nilai perusahaan (corporate  value). Perusahaan yang mampu mempekerjakan  karyawan bersertifikasi  standar  global  tentu  dianggap  memiliki  nilai lebih. Itu sebabnya perusahaan pun tak segan-segan membayar mahal gaji mereka.

Source : sitohang.net

About Bingki Parmaza

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.